Blog ini sebegai media buletin online El Minhaj yang dikelola oleh warga rayon “Perjuangan” Ibnu Aqil sebagai wadah untuk mengibarkan paham Ahlussunnah wa Al-Jama’ah.

Kamis, 04 Oktober 2012

On 13.10 by Unknown in    No comments
oleh: Diana Manzila*
        Suatu statement pernah terucap dari seorang dengan laqob sebagai gerbang dari Ilmu pengetahuan, Ali bin Abi Tholib ra. “ما الغنى ال العقل وما الفقر الا الجهل”  (Tiada dikatakan kaya seseorang kecuali keintelektualitasan yang di fungsikan, dan tiada kefakiran kecuali bagi orang-orang yang bodoh). Kiranya dari pesan singkat itu menyiratkan, jikalau banyaknya interpretasi dari kata “kaya” itu sendiri, hingga bapak dari Husain ra. ini memberi pengkhususan untuk seorang yang bisa dianggap kaya. Terlebih sejarah mencatat, sejak zaman jahiliyah, kata “kaya” hanya sangat dekat dengan hal yang bersifat materi. Di masa Kekasih Tuhan, Muhammad, masih menjadi sumber jawaban dari berbagai persoalan yang timbul, dinar telah menjadi hal yang urgen, memiliki nilai tawar tinggi, menjadi iming-iming jitu bagi para munafiqin untuk menjual iman mereka. Meski tak pelak, suatu yang bersifat logistic (harta benda)tersebut memang dibutuhkan sebagai tunggangan hidup. Namun berkali-kali kanjeng Nabi telah menegaskan segala fitnah dunia bermuara dari harta, jika manusia menjadikan tahta sebagai tujuan, wanita sebagai objek seksual. Hal tersebut terlihat dari sikap Nabi, saat peristiwa فتح المكة , beliau tidak membagi ghonimah pada mukminin yang ikut menaklukkan kota suci tersebut, justru Nabi meng-hibahkannya pada pemeluk Islam baru seperti Abu Sufyan, Hindun dan banyak pemukim setempat. Sahabat Umar bin Khattob bertanya pada Nabi “Wahai Kekasih Allah, kenapa kau tidak membaginya dengan para prajurit yang turut berjuang dalam penakhlukan kota ini?”, jawab Nabi lugas, “Manakah yang lebih kau pilih Umar, Cintaku atau harta berlimpah ini?”. Seketika dengan jawaban Nabi,
sahabat yang kelak menjadi amirul mukminin ini menangis, dan menyesali
pertanyaannya pada Beliau.
Cerita di atas adalah analog ringan, sebuah pilihan bagi setiap manusia untuk hanya memilih satu, kecintaan pada tuhan atau ciptaan tuhan (Dunia). Karena Tuhan kita Maha Pencemburu  maka makhluk paripurna bernama Manusia hanya bisa memilih salah satu kedekatan kepada Tuhan atau kedekatan pada harta. Pilihan ini terbukti telah dilakukan Manusia sempurna; Muhammad melalui do’a nya;  اللهم احيىنى مسكيىنا و امتنى مسكيىنا واحشرنى فى زمرة المساكيىن “Tuhan, jadikan kehidupanku sebagai orang miskin dan mati dalam keadaan miskin, dan giringlah aku dengan golongan orang miskin” Kiranya dapat menjadi gambaran, kehidupan manakah yang dapat mendekatkan kita pada sang pencipta, kehidupan seperti apa juga yang lebih disukai sang Maha Dimaha. Dan literature pun telah mencatat, jikalau Nabi Umat Islam ini hampir  tidak pernah kaya. Sejenak ketika beliau masih beristrikan Khadijah al-Kubro, namun selang beberapa waktu semua harta disumbangkan pada kepentingan bersama, dalam hal ini perjuangan syiar Nabi kala itu.

        Kendati demikian, sedikit sekali yang mampu memahami apa yang tersirat dari satu kalimat yang di ucapkan ayah Hasan ra, suami Fathimah binti Rasulillah. Bahkan beberapa diskusi  memberi tafsir yang dimaksud “العقل” belakangan dimaksudkan pada kecerdikan
mendapatkan harta. Pikiran nakal tersebut timbul ketika melihat banyak pejabat Negara yang mengaku berpendidikan tinggi, bertitel doctor  dan
profesor melahap uang receh masyarakat. Bagaimana tidak; jika pemalak yang tidak pernah sekolah bisa mendapat puluhan juta sehari, dengan susah payah, dikejar masa, bahkan kadang harus babak belur di dalam penjara, namun dengan kecerdasan akal manusia hebat yang gila pangkat, cukup dengan satu tanda tangan ringan dapat memasok milyaran rupiah dalam kantong dengan keringat kosong. Bukankah dapat dengan jelas terlihat, perbedaan tahu dan tidak tahu, belajar dan tanpa belajar, meskipun belajarnya juga pada setan.
هل ييستوى الذين يعلمون و الذين لا يعلمون….
*Filsuf Perempuan Masadepan

0 komentar:

Posting Komentar