Blog ini sebegai media buletin online El Minhaj yang dikelola oleh warga rayon “Perjuangan” Ibnu Aqil sebagai wadah untuk mengibarkan paham Ahlussunnah wa Al-Jama’ah.

Kamis, 04 Oktober 2012

On 12.45 by Unknown in    No comments
Oleh: Mahalasari*

ABDURRAHMAN WAHID atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur merupakan keturunan darah biru. Ayahnya yang bernama KH. Wahid Hasyim merupakan anak dari Hasyim Asy’ari, seorang pendiri NU (Nahdlatul Ulama), yang merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia. Beliau adalah seorang tokoh besar umat Islam. Ibunya, Hajjah Sholehah, juga merupakan keturunan dari tokoh besar Islam.
Tidak jelas kapan tepatnya tanggal beliau dilahirkan, namun beliau selalu berulang tahun tanggal 4 agustus. Walaupun beliau selalu berulang tahun tanggal 4 agustus, itu sebenarnya bukan tanggal kelahiran beliau. Beliau memang dilahirkan tanggal keempat pada bulan kedelapan, akan tetapi tanggal dan bulan itu ada dalam kalender Islam, yaitu tanggal 4 sya’ban 1940 yang apabila ditelusuri adalah tanggal 7 september. Dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jatim, dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil yang diberikan ayahnya, diambil dari nama salah seorang pahlawan dari dinasti Umayyah. Gus Dur kecil hidup di pesantren, dengan segala kesederhanaan di pesantren, tidak membuat pemikirannya semakin sempit. Walaupun keturunan dari strata sosial yang tinggi, tetapi kehidupannya sangat bertolak belakang dan tidak mencerminkan kehidupan ningrat. Beliau berproses hidup seperti halnya dari kebanyakan masyarakat lainnya. “Di Pesantren, humor itu jadi kegiatan sehari-hari. Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor, pikiran kita jadi sehat.” -Gus Dur-(Guntur Wiguna, koleksi humor Gus Dur, 2010).
Semasa kecilnya, beliau belajar mengaji dan membaca Al-Qur’an diajar oleh kakeknya, di Pesantren Tebuireng, Jombang. Dalam pendidikan beliau mendapat pengajaran di sekolah dari ayahnya KH. Wahid Hasyim. Seperti halnya pelajar lain, pertama-tama beliau belajar membaca dan menulis dalam bahasa Arab, kemudian setelah itu ayahnya KH. Wahid Hasyim mengajarinya bahasa latin dan bahasa melayu lokal, yaitu bahasa percakapan yang digunakan antara orang Belanda dan orang Indonesia pada waktu itu. Gus Dur mempunyai perpustakaan pribadi dan beberapa surat kabar di rumahnya, bahkan ada juga yang merupakan terbitan orang katholik dan non-muslim lainnya. Sehingga membuat semakin luas cakrawala pemikirannya dan kaya akan khasanah pengetahuan, ini merupakan hal yang sangat dicita-citakan oleh ayahnya.
Pada tahun 1959 Gus Dur pindah ke Jombang untuk menimba ilmu secara penuh di Pesantren Tambak Beras di bawah asuhan Kiai Wahab Chasbulloh, kemudian melanjutkan studinya di Al-Azhar Kairo, Mesir pada tahun 1963 karena mendapatkan beasiswa dari Departement Agama. Di sana beliau menimba ilmu dengan mengambil spesialis syari’ah yang dilaluinya selama tujuh tahun. Karena begitu aktifnya dalam berorganisasi, beliau tidak berhasil menyelesaikan kuliah. Kemudian dari Kairo beliau berpindah ke Baghdad, Irak dengan mengambil spesialis sastra dan ilmu humoris. Di sinilah Gus Dur berkenalan dengan pemikiran tokoh-tokoh seperti Emile Durkheim. KOMBINASI BERBAGAI UNSUR YANG KOMPLEKS “Gus Dur adalah seorang pencerna, mencerna semua pemikiran yang dibacanya, kemudian diserap menjadi pemikirannya sendiri. Sehingga tidak jarang jika tulisan-tulisannya jarang menggunakan footnote”. -Djohan Effendi-(Guntur Wiguna, koleksi humor Gus Dur, 2010).
Dari berbagai pengalaman yang beliau dapatkan ketika menimba ilmu di berbagai Negara, membuatnya mempunyai pribadi yang kompleks dan pemikiran yang unik. Melalui leluconnya yang begitu khas mampu mencairkan suasana yang tegang sekalipun. Melalui lelucon yang dibuatnya, beliau mengungkapkan gagasan-gagasan cerdasnya. Lelucon yang diucapkan beliau tanpa tedeng aling-aling (batas) membuatnya dicintai banyak orang. Kurang lebih hampir 30-an tahun beliau hadir untuk meramaikan Negeri ini dengan lelucon-lelucon kritis yang dibuatnya. Di tengah-tengah Negeri yang berlimpah akan sumber daya alamnya ini, tidak membuat penghuninya merasa kaya. Banyaknya praktik korupsi dan berbagai macam pelanggaran hukum dan HAM, penyalahgunaan kekuasaan, dan juga penindasan membuat Negeri berpenghuni ini merasa miskin keadilan. Negeri yang dihuni oleh orang-orang gila, yang masih bisa tertawa di atas segala himpitan hidup yang sulit, dan terkadang mengamuk dan menghunuskan pedang hanya karena masalah-masalah yang teramat sangat sepele, mulai dari menginjak kaki tanpa sengaja. Negeri ini bernama Indonesia.
Di tengah kegilaan yang melanda Negeri ini, Gus Dur hadir untuk memberi warna tersendiri yang unik dalam dinamika kehidupan berbangsa. Mampu menjadi jembatan antara perbedaan sosial baik secara vertikal maupun horizontal. Beliau selalu ahli dalam mencairkan suasana, baik yang tegang sekalipun. Mampu menjadikan musuh menjadi kawan. Ungkapan-ungkapannya jujur, apa adanya, tajam, dan menjadikan pedas di telinga bagi yang merasa disindirnya.
Walaupun terkesan kontroversial, namun tidak bisa dipungkiri gaya bicara yang diucapkannya merupakan cara terbaik dalam melakukan komunikasi dengan kelompok-kelompok yang terkesan ekstrem sekalipun.
 *Mahasiswa Jur. Pend. Bhs. Arab smstr III
Pengurus Rayon "Perjuangan" Ibnu Aqil
Masa Ibadah 2012-2013

0 komentar:

Posting Komentar