Senin, 15 Oktober 2012
On 02.15 by Unknown in gusdur No comments
Baru-baru
ini di berita dan berbagai media, masyarakat seperti terfokuskan perhatiannya
terhadap pemberitaan tentang pengerdilan wewenang dalam kelembagaan KPK. KPK
yang notabene lembaga anti-korupsi menjadi bulan-bulanan para penguasa yang tak
begitu suka dengan adanya lembaga ini. Bagaimana tidak, lebih dari sekali KPK
berusaha untuk diperlemah kewenangannya. Bahkan ketua KPK-periode awal sampai
sekarang- sering dijadikan kambing hitam dalam suatu tindak pidana maupun
perdata khususnya berkenaan dengan permasalahan korupsi.
Sebuah
pertanyaan akan timbul dalam benak kita, ada apa dengan bangsa kita ini. Bangsa
yang besar dengan kekuatan penduduknya yang beragam dari berbagai etnik, agama
dan budaya. Bangsa yang seluruh penduduknya mengamini pemberantasan korupsi.
Ada dimana jatidiri bangsa kita. Jatidiri bangsa yang terbangun atas dasar
nasionalisme tinggi dengan keringat para pejuang bangsa-negara dalam bingkai
sejarah yang begitu panjang.
Menelisik
tentang jati diri bangsa. Perlu perumusan yang sehat dan obyektif. Jati diri
adalah sesuatu yang melekat dan merepresentasikan diri dihadapan yang lain.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia jati diri berarti ciri-ciri,
gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda; identitas; (2) inti,
jiwa, semangat, dan daya gerak dr dalam; spiritualitas: mencari -- diri
pembangunan nasional.
Merujuk pada referensi diatas jati diri bangsa
berarti gambaran atau ciri-ciri pada suatu bangsa yang mencerminkan identitas
bangsa secara komprehensif.
Belajar dari sosok Gus Dur
Kita juga perlu mencontoh pabak bangsa kita dalam
mendalami jatidiri bangsa kita. Seperti sosok seorang Gus Dur.
Tanggal 27-29 September 2012 di Pondok
Pesantren Tebuireng sedang marak diadakannya peringatan 1000 hari wafatnya
KH.Abdurahman Wahid atau yang sering disapa Gusdur. Peringatan ini bukanlah
yang kali pertama diadakan, sebelumnya ketika peringatan 100 hari wafatnya Gus
Dur, acara yang sama juga diselenggarakan. Komplek pesantren Tebuireng yang
sudah mengalami perluasan arena semenjak era kepengasuhan Gus Shalahudin Wahid
ini agaknya menjadi altar yang pas untuk acara-acara besar. Khususnya
peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur pada hari ini (27/09/ 2012). Diberbagai
segmen seminar, diskusi, bahkan di peringatan 1000 hari wafatnya beliau ini
sosok kharismatik, kontroversi, dan seringkali dianggap nyleneh ini
seakan tiada habis untuk selalu dikupas, dikaji,dan diulas dari hari ke hari.
Terlepas dari sisi kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia, semoga beliau
mendapat tempat yang terbaik di sisiNya. Amin.
Peringatan
1000 hari wafatnya mendiang Gus Dur ini agaknya merupakan satu testimony
kebangsaan yang dibalut dengan spiritualitas islam yang dibawanya. Sepak terjang
Gus Dur sebagai tokoh pluralis, nasiolis menempatkan beliau sebagai tonggak
pemersatu bangsa dari segala macam latar belakang masyarakat yang dibelanya. Kita tentu tidak lupa dengan
pembelaan-pembelaaan Gus Dur terhadap kelompok-kelompok minoritas yang selalu
menjadi justivikasi kesalahan dari masyarakat dan isu nasional. Atas nama Harmonisasi
keindonesiaan inilah yang melatarbelakangi Gus Dur dalam membela siapapun saja
tidak pandang dari suku, ras, agama dan golongan. Kita sangat ingat betul
bagaimana kelompok keturunan Tionghoa menjadi
satu diantara kelompok-kelompok/personal lain yang merasakan pembelaan Gus Dur.
Ketika menjabat sebagai presiden, Gus Dur
mengeluarkan PP. No 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres no. 14 tahun 1967.
Kebijakan Gus Dur membuka kran kebebasan budaya dan agama bagi masyarakat
Tionghoa Indonesia, yang sebelumnya terkekang oleh represi penguasa Orde Baru.
Peran Gus Dur ini mengembalikan eksistensi warga Tionghoa di Indonesia.
Tradisi, kepercayaan, dan pandangan hidup warga Tionghoa di Indonesia kembali
terangkat. Kebijakan Gus Dur ini menjadi bagian dari politik identitas, untuk
mencipta harmoni keindonesiaan dan tentunya kebangsaan.
Begitupun
dengan corak spirit keislaman yang terbalut dalam diri seorang Gus Dur. Corak
keislaman beliau adalah sebuah proses pengembaraan, dimana Gus Dur mengalami
berbagai macam akulturasi pemikiran dari masa ke masa. Diakui oleh Gus Dur bahwa di masa mudanya,
di tahun-tahun 1950-an, ia mengikuti jalan pikiran Ikhwanul Muslimun, sebuah
kelompok Islam “garis keras” yang pengaruhnya juga sampai ke Jombang, Jawa
Timur. Bahkan Gus Dur juga ikut aktif dalam gerakan Ikhwanul Muslimun di kota
kelahirannya itu. Lalu pada tahun1960-an, Gus Dur tertarik untuk mendalami
nasionalisme dan sosialisme Arab di Mesir dan Irak, tepatnya ketika ia menjadi
mahasiswa di Universitas Al-Azhar, Kairo dan Universitas Baghdad, Irak.
Pengalaman menimba ilmu di kedua Negara tersebut tentu berpengaruh terhadap
perkembangan pemikirannya. Namun setelah kembali ke Indonesia di tahun 1970-an,
Gus Dur melihat perkembangan dan dinamika baru Islam yang berbeda dengan di
Timur Tengah. Ia melihat realitas bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at)
bisa belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama, bahkan juga
pandangan dari agama-agama lain
Pengembaraan
intelektual dan sipiritual keislaman inilah yang akhirnya mengerucut
menghasilkan pemikiran progresif yang teridiomatik dengan sebutan “Islamku,
Islam Anda, dan Islam Kita”. Bahwa representasi dari islamku adalah ketika
kebenaran didapat dari sebuah pengalaman, bukan keyakinan. Kebenaran seperti
ini tidak bisa dipaksakan agar semua orang juga meyakininya sebagai kebenaran,
karena ia bersifat subjektif. Jika anda suatu kali menemukan sekelompok orang,
madzhab dengan ijtihad dan dalil baru bahwa shalat Isya’ boleh dengan dua
rakaat, maka anda harus memetakan bahwa kebenaran yang anda dapat adalah hasil
dari pengalaman dengan nilai subjektifitas yang absurd. Satu contoh “ngawur”
seperti inilah yang dimaksud dengan Islamku. Sedangkan yang dimaksud dengan
Islam anda adalah keterbalikan dari konsep Islamku. Islam anda adalah sebuah
kebenaran yang didapat dari keyakinan, bukan dari pengalaman. Determinasinya
lebih mengacu pada tradisionalisme dan ritual kemasyarakatan. Kebenaran seperti
ini menurut Gus Dur perlu dihargai dan dijunjung tinggi. Begitupun dengan Isalm
kita, rumusan ini adalah sebuah integrasi antara islamku dan islam anda.
Intisari dari konsensus Islam kita adalah sebuah perumpamaan kontekstual yang
sangat realitatif, bahwa banyak santri tidak mendapat predikat “muslim yang
baik” karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri yang
kurang sempurna dalam menjalankan agama seringkali dianggap “muslim yang baik”
hanya karena ia menyatakan fikiran-fikirannya atas masa depan Islam.
Akhir
kata, semoga di peringatan 1000 hari wafatnya Gus Dur ini kita selalu bisa
mendalami dengan “kaffah” tentang tipologi seorang Abdurahman Wahid dari segala
macam sepak terjangnya serta bisa memformulasikan diri Abdurahman wahid kepada
keturunan kita kelak. Sehingga menjadi motivasi untuk kita semua dalam
merefleksikan jati diri bangsa kita. Amin.
** Andri
Kurniawan
Kader Ibnu Aqil
mantan devisi keagamaan periode 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Arsip Blog
Terpopuler
-
Oleh: Mahalasari * ABDURRAHMAN WAHID atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur merupakan keturunan darah biru. Ayahnya yang ...
-
Oleh R Fikri Abdillah* Kata Buruh sudah sangat akrab di telinga kita. Buruh menjadi bagian tak terelakkan dalam kehidupan manusia...
-
“Ilmu-ilmu yg kita pelajari sebagai alat pembebas atau alat penindas…” – Ws Rendra Tak jarang kita mendengar adagium yang b...
-
Oleh: Muhammad Hasan* Masih tergambar jelas dalam ingatan kita isak tangis dan gema takbir jutaan orang sebagai tanda penghormatan t...
-
Baru-baru ini di berita dan berbagai media, masyarakat seperti terfokuskan perhatiannya terhadap pemberitaan tentang pengerdilan wew...
Kategori
Mengenai Saya
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar