Rabu, 04 Juni 2014
“Ilmu-ilmu
yg kita pelajari sebagai alat pembebas
atau alat penindas…” – Ws Rendra
Tak jarang kita mendengar adagium yang berkesan memuji status kaum terpelajar (mahasiswa) sebagai agen of change atau agen of social control dalam bagian civil society. Tak jarang pula timbul pertanyaan kenapa harus Mahasiswa? Bukan kiai, rektor, atau tokoh cendekiawan yang lainya.
Dalam sejarah berdirinya bangsa Indonesia, kaum terpelajar (mahasiswa) telah memosisikan dirinya sebagai garda terdepan mengawal sang proklamator. Sampai detik-detik deklarasi kemerdekaan dikumandangkan, telah banyak sumbangsih mahasiswa bagi bangsa Indonesia. Di setiap masa mahasiswa selalu ikut serta mengambil peran penting dalam masa itu, sehingga kontribusinya tak bisa dipungkiri lagi oleh sejarah.
Mahasiswa selalu percaya akan cita-cita yang mereka anggap kebenaran bagi mereka itulah yang biasa kita sebut sebagai Idealisme. Kaum terpelajar tidak mudah terombang ambing oleh keadaan sosial yang dihegemoni oleh kaum penguasa. Mereka dengan tegas mengatakan benar kalo itu benar, dan dengan lantang mengatakan salah apabila itu salah, karena mereka mempunyai idealisme yang tidak bisa diperjual belikan.
Tentu kita masih ingat aksi terbesar kaum terpelajar era ’86 dan TRISAKTI era ’98, momen yang mewarnai sejarah lengsernya president pertama kali Ir. Soekarno dan sang diktator Soeharto yang melibatkan kaum mahasiswa bergerilya menjatuhkan dua rezim kepemerintahan sekaligus. Semuanya tidak akan terjadi tanpa didasari idealisme yang kuat.
Di era reformasi kini berbicara tentang idealisme adalah hal yang tabu. Tak heran bila para kaum intelektual ketika menjadi pemimpin tidak dapat mengemban amanah dengan benar.
krisis pemimpin ini sangat berimbas pada merosotnya nilai militansi kaum reformis. Kehidupan mahasiswa yang serba hedonis menjadi penyebab utama hilangnya identitas mahasiswa beserta idealismenya.
mahasiswa tidak lagi dikenal sebagai ujung tombak kaum tertindas bahkan tak jarang jebolan mahasiswa yang menganyam pendidikan tinggi malah menjadi alat penindas bagi masyarakat kecil (ploretar). Reformasi telah tercapai, suara tak lagi dibungkam oleh penguasa, demokrasi pun dipercaya sebagai sistem negara. Lantas kenapa mahasiswa sekarang lebih memilih jalan berdiam disaat rakyat menjerit oleh sistem yang mencekik? Dimana implementasi dari slogan agen of social control jika masih apatis dengan kondisi sosial disekeliling mereka? masih pantaskah slogan-slogan pujian itu disandangkan bagi mahasiswa? semuanya ada ditangan kita semua.
“Wallahu A’lam”
By : M. Abdur Rouf Hanifuddin
Anggota devisi PWSDK rayon Ibnu Aqil
Tak jarang kita mendengar adagium yang berkesan memuji status kaum terpelajar (mahasiswa) sebagai agen of change atau agen of social control dalam bagian civil society. Tak jarang pula timbul pertanyaan kenapa harus Mahasiswa? Bukan kiai, rektor, atau tokoh cendekiawan yang lainya.
Dalam sejarah berdirinya bangsa Indonesia, kaum terpelajar (mahasiswa) telah memosisikan dirinya sebagai garda terdepan mengawal sang proklamator. Sampai detik-detik deklarasi kemerdekaan dikumandangkan, telah banyak sumbangsih mahasiswa bagi bangsa Indonesia. Di setiap masa mahasiswa selalu ikut serta mengambil peran penting dalam masa itu, sehingga kontribusinya tak bisa dipungkiri lagi oleh sejarah.
Mahasiswa selalu percaya akan cita-cita yang mereka anggap kebenaran bagi mereka itulah yang biasa kita sebut sebagai Idealisme. Kaum terpelajar tidak mudah terombang ambing oleh keadaan sosial yang dihegemoni oleh kaum penguasa. Mereka dengan tegas mengatakan benar kalo itu benar, dan dengan lantang mengatakan salah apabila itu salah, karena mereka mempunyai idealisme yang tidak bisa diperjual belikan.
Tentu kita masih ingat aksi terbesar kaum terpelajar era ’86 dan TRISAKTI era ’98, momen yang mewarnai sejarah lengsernya president pertama kali Ir. Soekarno dan sang diktator Soeharto yang melibatkan kaum mahasiswa bergerilya menjatuhkan dua rezim kepemerintahan sekaligus. Semuanya tidak akan terjadi tanpa didasari idealisme yang kuat.
Di era reformasi kini berbicara tentang idealisme adalah hal yang tabu. Tak heran bila para kaum intelektual ketika menjadi pemimpin tidak dapat mengemban amanah dengan benar.
krisis pemimpin ini sangat berimbas pada merosotnya nilai militansi kaum reformis. Kehidupan mahasiswa yang serba hedonis menjadi penyebab utama hilangnya identitas mahasiswa beserta idealismenya.
mahasiswa tidak lagi dikenal sebagai ujung tombak kaum tertindas bahkan tak jarang jebolan mahasiswa yang menganyam pendidikan tinggi malah menjadi alat penindas bagi masyarakat kecil (ploretar). Reformasi telah tercapai, suara tak lagi dibungkam oleh penguasa, demokrasi pun dipercaya sebagai sistem negara. Lantas kenapa mahasiswa sekarang lebih memilih jalan berdiam disaat rakyat menjerit oleh sistem yang mencekik? Dimana implementasi dari slogan agen of social control jika masih apatis dengan kondisi sosial disekeliling mereka? masih pantaskah slogan-slogan pujian itu disandangkan bagi mahasiswa? semuanya ada ditangan kita semua.
“Wallahu A’lam”
By : M. Abdur Rouf Hanifuddin
Anggota devisi PWSDK rayon Ibnu Aqil
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Arsip Blog
Terpopuler
-
Oleh: Mahalasari * ABDURRAHMAN WAHID atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur merupakan keturunan darah biru. Ayahnya yang ...
-
Oleh R Fikri Abdillah* Kata Buruh sudah sangat akrab di telinga kita. Buruh menjadi bagian tak terelakkan dalam kehidupan manusia...
-
“Ilmu-ilmu yg kita pelajari sebagai alat pembebas atau alat penindas…” – Ws Rendra Tak jarang kita mendengar adagium yang b...
-
Oleh: Muhammad Hasan* Masih tergambar jelas dalam ingatan kita isak tangis dan gema takbir jutaan orang sebagai tanda penghormatan t...
-
Baru-baru ini di berita dan berbagai media, masyarakat seperti terfokuskan perhatiannya terhadap pemberitaan tentang pengerdilan wew...
Kategori
Mengenai Saya
Diberdayakan oleh Blogger.
endi tulisane kok sepi blog e
BalasHapus