Blog ini sebegai media buletin online El Minhaj yang dikelola oleh warga rayon “Perjuangan” Ibnu Aqil sebagai wadah untuk mengibarkan paham Ahlussunnah wa Al-Jama’ah.

Senin, 01 Oktober 2012

On 15.29 by Unknown in    No comments
Apa yang terlintas di benak Anda saat  mendengar kata ‘aktivis’? Stigma positifkah? Atau justru negatif?
Bagi mahasiswa sendiri, penyebutan kata aktivis tidak hanya bermakna satu. Banyak yang mengelu-elukan sebutan tersebut sebagai suatu kebanggaan dan predikat yang dianggap berkelas, namun tidak sedikit juga yang justru mencibirkan bibir saat mendengarnya. Apa pasal? Ternyata kini paradigma telah bergeser. Mereka yang mendapat sebutan aktivis dan aktif di organisasi, tidak lagi semuanya dapat disejajarkan dengan adagium mahasiswa, agent of change atau agen perubahan. Banyak yang masuk organisasi dengan alasan-alasan lain yang dapat menimbulkan apriori negatif bagi aktivis lainnya. Aktif organisasi karena ingin mendapat popularitas, misalnya. Atau karena ingin menduduki sebuah jabatan tertentu, bukan merupakan hal yang mustahil. Justru inilah yang kini ramai diperbincangkan. Akhirnya, yang paling dirugikan adalah predikat ‘aktivis’ itu sendiri. 
Pola pikir kritis, konstruktif, dan progresif yang menjadi ciri khas mahasiswa aktivis perlahan akan terkikis, menipis, bahkan hilang. Yang berkembang pesat justru pola pikir pragmatis, yang mendasarkan segala sesuatu yang dilakukan dengan pertimbangan keuntungan bagi diri sendiri. Belum lagi ngetrennya hidup ala kapitalis, atau hedonis, yang mengutamakan uang, tren, dan gengsi di atas segalanya. Istilah ‘globalisasi’ yang dulu diagung-agungkan kini justru menjadi bumerang bagi diri sendiri.
Membahas hal ini, penulis teringat akan masa dimana mahasiswa benar-benar menunjukkan taringnya di kancah perubahan bangsa. Alih-alih hanya menanti uluran dana dari orang tua, para ‘kaum muda’ saat itu berjuang, bersatu padu, memanfaatkan semangat mereka yang bergelora, untuk bersama berjuang bagi Indonesia. Diantaranya: Pertama, Peristiwa Sumpah Pemuda (1928),  saat organisasi kepemudaan di seluruh Nusantara menyatakan satu tekad bertumpah darah satu tanah air indonesia, berbangsa satu bangsa indonesia, dan berbahasa satu bahasa Indonesia. Kedua, Kemerdekaan Indonesia (1945) tak luput dari peran besar ‘golongan muda’ yang mendesak ‘golongan tua’ untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Ketiga, tumbangnya Orde Lama (1966) juga oleh mahasiswa. Keempat, Peristiwa Malari 1974 (malapetaka 15 Januari) di Jakarta, dimana mahasiswa berdemo anti modal asing bagi Indonesia. Kelima, tumbangnya Orde Baru (1998) saat presiden Soeharto yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun, akhirnya mengakhiri masa kepemimpinannya di tangan mahasiswa. Sungguh luar biasa perjuangan para pendahulu kita. Tanpa ragu, mereka maju bangkit bersama untuk menumpas penindasan dan penjajahan dalam berbagai rupa.
Namun, memang tidak baik kiranya jika kita hanya berkubang dalam romantisme masa lalu tersebut. Untuk apa terus membangga-banggakan mahasiswa ‘zaman dulu’ jika saat ini kita disini hanya diam berpangku tangan, bersikap seolah tak tahu apa-apa, dan hanya menjalani hidup apa adanya. Apa gunanya kita menyandang predikat aktivis, bila tak mampu berpikir kritis akan segala sesuatu di sekitar kita? Bila terus diam meski kesalahan dan kebobrokan terpampang jelas di depan mata. Bila mengutamakan fanatisme buta tanpa pertimbangan akal budi selayaknya ‘mahasiswa’ yang seharusnya. Akankah kita sia-siakan perjuangan para pendahulu kita? Atau kita jalani saja hidup yang, ‘apa adanya’?
Di tangan kitalah tonggak ini terpancang sekarang. Bukan, bukan mereka, bukan pula anak cucu kita kelak. Namun kita, sebagai mahasiswa zaman ini, yang mengemban amanat besar untuk mengisi revolusi yang telah diperjuangkan dengan darah, semangat, dan air mata oleh pendahulu kita. Tugas kitalah untuk mencegah stagnasi perubahan, dan menunjukkan kedigdayaan mahasiswa dalam mengusung kemerdekaan. Mampukah kita mencengkramkan taring-taring kebenaran dalam wujud kritisisme terhadap kebatilan yang ada? Semoga.
*Ditulis oleh Asri Mhs Jurusan Pend. Bahasa Arab UIN Malang
Kader PMII Rayon "Perjuangan" Ibnu Aqil

0 komentar:

Posting Komentar